Seperti apakah waktu itu terus bejalan dan berganti, detik demi detik hingga jauh meninggalkan masa lalu yang terindah, hingga saat ini semuanya telah menjadi kenangan yang terindukan, merindu hanyalah sebatas menunggu hingga akhir dan menjadi sebuah penyesalan karena kau takkan mungkin kembali pada masa itu, maka berbuatlah apa yang bisa kau lakukan saat ini untukku agar aku mengerti apa yang engkau lakukan padaku. Bagi kamu yang telah memberikan hatimu untukku, sadarkanlah aku atas pemberian itu agar diriku takkan menjadi sesal kelak saat kau jauh dari hidupku.
Waktu yang berlalu takkan pernah kembali lagi, ia hanya dikenal dari setiap kenangan-kenangan yang ditinggalkan. Jauh di daratan sana tempatnya di negeri Cina, beberapa tahun yang lalu terdapatlah sebuah kisa cinta yang saat ini hanya dapat menjadi dongeng bagi kita para muda yang saling mencinta, sebuah kisah yang mampu meneteska air mata turun ke pipimu itu, dan sebuah peringatan agar engkau tak menyia-nyiakan aku.
Pada awal tahun 1950-an, seorang remaja bernama Liu Guojiang (16 tahun), mendengar jeritan seorang perempuan yang tercebur ke sungai. Ia yang tinggal di pinggir sungai itu, segera melihat apa yang terjadi dan serta merta ia menolongnya. Ternyata perempuan itu adalah Xu Chaoqin, seorang janda beranak empat yang usianya terpaut 10 tahun lebih tua darinya.
Setelah menolong, ia mengantarkan Chaoqin ke rumahnya. Sejak itulah Guojiang sering membantu Chaoqin mencari kayu bakar, mencari air, dan pekerjaan rumah tangga lain. Karena seringnya membantu Chaoqin, rumor pun merebak. Seorang pemuda yang sering ke rumah seorang janda muda mendatangkan sangkaan-sangkaan negatif. Orangtua Guojiang khawatir anaknya jatuh cinta pada janda itu. Lalu mereka menyarankan agar pemuda itu mencari gadis lain yang sebaya dan cantik. Akan tetapi, pemuda itu tidak mau dan malah menikahi Xu Xhaoqin empat tahun kemudian.
Untuk menghindari gosip yang beredar dan cemoohan dari masyarakat setempat yang belum bisa menerima keadaan mereka, keduanya memutuskan untuk meninggalkan desa mereka dan tinggal di sebuah gua yang berada di dalam hutan sebuah pegunungan.
Di sana, mereka harus hidup sendiri, tanpa listrik listrik dan makanan. Untuk mengisi perut, mereka terpaksa memakan rumput dan akar di gunung. Agar ada penerangan, Guojiang mengadalkan lampu minyak tanah.
Chaoqin sungguh merasa kasihan pada suaminya yang harus bekerja keras dan hidup terasing dari masyarakat. Semua itu, menurut pikirannya, merupakan pengorbanan yang amat besar. Untuk meyakinkan kekhawatirannya, Guojiang ia tanyai. “Apakah kamu menyesal?” tanya Chaoqin. Guojiang menyahut dengan bijak, “Selama kita tekun, hidup akan lebih baik,” ujarnya.
Pada tahun kedua, mereka mulai mencoba membangun "hidup baru yang lebih baik". Untuk naik turun gunung, demi orang yang dikasihinya, Guojiang membuat anak tangga satu per satu, tahun demi tahun. Semua itu dikerjakan seorang diri dan hanya menggunakan kekuatan tangan.
Pada pertengahan tahun 2001, sebuah kelompok petualang datang ke hutan tersebut untuk menjelajahi hutan tersebut. Betapa terkejutnya mereka karena menemukan sepasang suami istri yang menetap di hutan dan ada 6000 tanjakan yang dibuat dari tangan. Mereka juga menemukan tujuh anak buah cinta Guojiang dan Chaoqin.
"Orangtua saya saling mencintai satu sama lain, mereka dapat hidup bersama selama lima puluh tahun dan tidak pernah berpisah dalam keseharian mereka. Ayah membuat 6000 injakan untuk membuat ibu merasa nyaman, sehingga ia lebih mudah untuk turun dan naik gunung,"cerita Liu MingSheng, anak ketujuh dari Guojiang dan Chaoqin.
Sayangnya, kisah cinta mereka itu berakhir tiga tahun lalu, ketika Guojiang terjatuh sehabis pulang meladang dan pingsan. Chaoqin duduk dan terus berdoa di samping suaminya yang tak berdaya. Enam hari kemudian Guojiang meninggal dalam pelukannya dengan memegang erat tangan Chaoqin. Anak-anak dan orang lain yang datang menjenguknya sampai kesulitan memisahkan genggaman tangan Guojiang yang memegang erat tangan Chaoqin. Ada yang menyebutkan, eratnya tangan Guojiang menandakan betapa besarnya cintanya pada Chaoqin.
Perempuan yang saat itu berusia 80 tahun menangis tersedu-sedu. “Kamu telah berjanji padaku akan memeliharaku dan akan selalu bersamaku hingga aku meninggal. Sekarang kamu mendahuluiku, bagaimana aku bisa hidup tanpamu?” tangis Chaoqin
Kisah itu telah menjadi kenangan untuk setiap hati yang masih bertahan di dunia ini. Bahkan aku takkan bisa membayangkan bagaimana sakitnya engkau jika kau menginginkanku bicara saat aku bisu, bagaimana piluhnya saat kau memanggilku dan aku berpaling, bagaimana rindunya saat kau menantiku dan aku tak kunjung datang dan melihatmu menangis membuatku merasa sedih.
Untuk kekasihku, entah kau itu siapa? aku katakan ingin selalu bersamamu hingga di akhir hembus nafasku nanti.
Belum ada tanggapan untuk "Kisa Cinta 6000 Anak Tangga | Kisah Nyata"
Post a Comment